IMPLEMENTASI SINERGIS PAUD KOMUNITAS BERBASIS DESA
(Rekam Dialektika dan Perjalanan Tim Penyusun Kurikulum PAUD-KBD, 11-13 Oktober 2016)
Bertepatan dengan malam Hari ‘Asyura—di mana bagi umat muslim menjadi hari penting yang menandai sederet peristiwa sejarah bermuatan kemanusiaan—kami berkumpul di Salatiga untuk meninjau kembali kerangka berpikir dan inti sari penyelenggaraan PAUD bagi masyarakat nun-jauh di pelosok pedesaan, sekaligus melengkapi beberapa kekurangan teknis yang tidak seberapa terkait gambar-gambar ilustrasi. Singkatnya pada malam itu tersepakati oleh kami bahwa sebagaimana telah dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara sejak sebelum republik ini berdiri, keluarga menjadi lahan sekaligus subyek sentral penyelenggaraan pendidikan untuk anak-anak. Lebih-lebih jika mengurai konsep pendidikan Ki Ageng Suryomentaram, maka pada dasarnya proses mendidik anak akan berjalan seiring dengan proses mendidik diri sendiri. Maka dari itu kami mengambil 3 (tiga) langkah sederhana namun mendasar dalam me-revitalisasi konsep pengasuhan dalam keluarga, yakni: selalu menyemangati, tidak menakut-nakuti dan senantiasa menjadi teladan.
Ketiga kearifan pengasuhan tersebut terasa lebih pas dalam meng-implementasikan konsep pengasuhan sepanjang hayat (berkelanjutan). Karena sampai kapan pun orangtua harus mampu mendampingi kehidupan anak hingga akhir hayatnya. Anak dengan demikian akan tumbuh dengan penuh rasa percaya diri, terbiasa berpikir dan terlatih bertanggung-jawab. Mereka pun dengan sendirinya bakal menjadi agen pengembalian harkat pendidikan bangsa ini yang gagal dibuktikan oleh “sekolah”. Keluarga-keluarga secara bertahap menjadi model mutu kecerdasan yang identik bagi setiap anak yang sekaligus juga menjadi benteng tangguh bagi bangun kepribadian dan karakter anak selanjutnya. Apabila kita percaya bahwa pendidikan adalah kerja-budaya maka cara atau pola kearifan seperti ini akan sanggup turun-temurun, berjalan estafet me-lintas generasi. Lebih-lebih jika antar keluarga dalam komunitas/kelompok masyarakat nantinya dapat bahu-membahu saling bantu menggenapi kelemahan satu-sama lain.
Perbanyakan yang terjadi akan semakin masif, sehingga negara dalam hal ini akan sangat terkurangi bebannya karena masyarakat terlayani bukan oleh siapa-siapa, melainkan dari upaya dan kegigihan mereka sendiri. Menyelenggarakan PAUD bukan lagi berpikir tentang bagaimana mendirikan bangunan dan menyediakan perangkat pembelajaran yang memaksa kita mendatangkan dengan cara membeli sumberdaya yang tidak dimiliki atau bagaimana menggaji guru/tenaga pendidik yang dalam praktiknya justru relatif membatasi ruang tumbuh-kembang anak atau bahkan tanpa sadar terlibat pula dalam menanamkan rasa takut dan bodoh ke alam-pikir mereka. Akan tetapi menjadi sebuah langkah bersama antar warga dalam suatu komunitas untuk berbagi kemudahan (fasilitas) dan secara realistis mengoptimalkan sumberdaya yang ada di sekitar. [MEMBEDAH ISI – 12 Oktober 2016]: dalam 8 jam acara bedah buku panduan yang sudah dipersingkat dari rencana semula Isu Pendidikan Anak Usia Dini nampaknya kian menjadi perhatian pelbagai pihak. Sejumlah program dan juga tentu saja anggaran menjadikan PAUD sebagai alasan penggelontoran. Namun apalah artinya program ataupun anggaran, jika sudut pandang yang dipakai belum cukup lebar untuk menyaksikan bentang-cakrawala yang meliputi keadaan sebenarnya. Beragam indikator atau apa pun alat ukur yang selama ini dipakai hanya akan semakin menempatkan anak-anak dan komunitas/kelompok masyarakat di pelosok pedesaan pada posisi tertinggal atau terbelakang. Sudah saatnya kita perlu lebih jujur memaknai fasilitas sebagai kemudahan, dalam segala bentuknya. Sehingga bagi masyarakat pedesaan yang tinggal di pelosok-pelosok (kepulauan, hutan, gunung, pantai, dll) akan semakin mengerti bahwa di sekitar mereka terlimpah begitu banyak sumberdaya yang bisa dikelola untuk kemudian menjadi “ruang dan alat bermain-belajar” bagi anak-anak. Kita juga tidak bisa begitu saja mengesampingkan nila-nilai kearifan yang hingga saat sekarang kita yakini masih tertanam jejak-jejaknya pada keluarga-keluarga yang ada di sana.
Pada acara “Bedah Buku Panduan PAUD Berbasis Lokal” di Swissbell-Residence Kalibata, kita dapat tengok data yang dipakai Kemendesa-PDT, bahwa masih ada sekitar 33.367 desa yang belum memiliki PAUD dari total 74.709 desa yang ada di Indonesia. Sementara data Kemendikbud menyebutkan masih ada sekitar 22.00 desa dari total 74.053 desa. Lebih lanjut Kemendikbud pada tahun ini mencanangkan program PAUD Desa dalam Gerakan Nasional PAUD Berkualitas (GNPB) 2016-2030, sementara itu Kemendesa-PDT mencanangkan program PAUD Generasi Sehat Cerdas Desa (GSCD) 2016-2017. Peserta acara ini meliputi unsur-unsur pemerintahan (Kemendikbud, Kemendesa-PDT, Kemenkes, BKKBN, Bappenas, dll), lembaga-lembaga penyelenggara dan jaringan guru PAUD (Fatayat, Sekolah Alam, Himpaudi, Forum PAUD, dll), serta beberapa organisasi/yayasan/NGO/LSM pemerhati pendidikan (Indonesian Heritage Foundation, Komunitas Belajar Bengkel Kreasi, Frontiers, Ashoka, YPQTI). Beraneka ragam komposisi tersebut menyepakati beberapa hal, antara lain:
Mudah, menjadi prinsip penyelenggaran yang realistis, ketika secara demokratis masyarakat didampingi dalam mewujudkan PAUD Komunitas Berbasis Lokal;
Perlu langkah terobosan di luar yang konvensional agar percepatan jangkauan penyelenggaraan PAUD yang berkonteks lokal di desa-desa pelosok (terpencil, terdepan atau terluar) dapat sesegera mungkin tercapai;
Menuntut kemungkinan kerjasama lintas bidang, lintas lembaga, lintas kementrian bahkan lintas program agar menjadi solusi yang terintegrasi;
Buku Panduan sederhana akan sangat membantu, lebih-lebih dengan sistematika dan bahasa yang mudah dipahami bagi pembaca dengan asumsi belum lulus SD;
Buku Panduan hanya menjadi landasan umum untuk lebih dijabarkan lagi dalam detail isi kurikulum pada masing-masing desa/komunitas sebagai basis konteks lokal yang dimaksud;
Dominasi bahasa visual, kepadatan tata-letak dan membagi sejumlah bab yang ada ke dalam beberapa buku lebih tipis menjadi alternatif pembenahan jika memungkinkan;
Sedapat mungkin segera menyebar-luaskan panduan penyelenggaran PAUD Komunitas Berbasis Lokal (Desa) ini lewat jalur apa pun, agar segera dapat diimplementasikan baik oleh masyarakat secara langsung ataupun lewat dampingan lembaga/organisasi/yayasan yang bersentuhan langsung dengan komunitas/kelompok masyarakat dimaksud;
Adapun beberapa hal lain perlu ditinjau kembali kesesuaiannya dengan prioritas kebutuhan tersedianya sesegera mungkin panduan penyelenggaraan PAUD yang berkonteks lokal, antara lain: standar kompetensi guru, acuan komponen pembelajaran, standar penilaian, dsb. Oleh karena itu, dapatlah ditinggalkan keharusan mengacu buku panduan ini jika memang justru menambah rumit atau merepotkan. [KEPULANGAN – 12/13 Oktober 2016]: dalam 13 jam perjalanan Jakarta-Salatiga dan 7 jam penuh makna di Purwokerto.
Sebuah tawaran mendadak datang dari Kang Heri Kristanto, komandan “bres” Komunitas Zona Bombong agar kami sudi mampir ke Purwokerto, untuk sekadar berdiskusi dan ber-sambungrasa atas serangkaian aktifitas-gerak kecil kami dalam ikut serta mewujudkan Desa Mandiri tanpa Korupsi (DMtK). Subuh kami sampai di Purwokerto dan singkat cerita kami berenam (Alfian, Jono, Awiek, Arif, Hidayah, dan Isnain) ditraktir sarapan di sebuah kedai Gudeg yang tersembunyi di ujung gang dekat dengan pasar besar (Pasar Wage) Purwokerto. Cerita pun berawal dari sini…
Saat ini tidak banyak—bahkan nyaris tidak ada—masyarakat yang mau menerima sebuah tawaran solusi yang melawan arus utama tanpa tersedianya bukti-bukti cukup dan konkrit. Apalagi di tengah hiruk-pikuk program beserta anggaran pemerintah yang menjanjikan perubahan sistematis namun perlahan. Oleh sebab itulah kami tiba pada satu kesimpulan bahwa pekerjaan terdekat adalah bagaimana menemukan satu komunitas yang mau secara riil menerapkan solusi terintegrasi, mulai dari pangan, pendidikan, ekonomi, ke-tenagakerja-an, dll. Satu komunitas saja cukup asal dapat menjadi contoh nyata bagi yang lain.
Spontan saat itu juga kami sepakat menengok apa yang terjadi di Desa Wlahar Wetan, Kec. Kalibagor, Kab. Banyumas. Agar lengkap kami sempatkan menjemput Bung Rusdi Tagaroa (Tenaga Ahli yang direkrut Kemendesa-PDT) yang memang dalam beberapa hari sedang bertugas di Purwokerto. Beberapa materi perbincangan dengan Bung Rusdi dalam perjalanan menuju lokasi kian mempertajam kebutuhan panduan teknis di lapangan, semacam: integrasi kegiatan anak usia 0-12 bulan dalam Posyandu serta pembagian jenjang-jenjang kelompok usia yang membutuhkan kecermatan terkait situasi di masing-masing tempat.
Langkah kami berikutnya seakan “dituntun” agar lebih mendekat pada realitas. Perbincangan berikutnya dengan Kepala Desa Wlahar Wetan—Kang Dodiet Prasetyo Andiyanto, sesosok figur pemimpin muda—yang seakan memberi kami suntikan darah segar di balik deraan rasa lelah perjalanan sejak malam sebelumnya. Kang Dodiet menyampaikan impian dan keberpihakannya pada isu PAUD, sembari menggambarkan potensi pedesaan WlaharWetan dan profil pengembangannya. Sedikit koreksi kami sampaikan terkait masih seringnya kita membandingkan desa dengan kota, sementara keduanya sudah jelas memiliki karakteristik yang berbeda. Akan butuh alat ukur yang berbeda ketika bicara kualitas, kemajuan ataupun keberhasilan sebuah desa karena desa dibangun dan dikembangkan tentu saja bukan untuk berubah menjadi kota. Meskipun sama-sama keduanya menuntut cara-cara pendekatan yang demokratis dan berkeadilan.
Pengalaman dialektis kami semakin lengkap ketika berkesempatan berkunjung ke Pos PAUD “Mulia Bangsa” yang dikepalai langsung oleh Bu Kades Tika Ardiyanti. Sebuah bangunan tunggal, dengan cukup hanya terdiri dari 2 ruangan (kantor dan kelas) berada pada lanskap persawahan dengan perbukitan kecil di ujung-batas pandangan. Sejumlah orangtua (ibu-ibu dan beberapa bapak-bapak) bahkan nenek-nenek terlihat begitu akrab saling berbincang dalam beberapa kelompok, sambil menunggu kegiatan anak-anak berakhir. Di dalam ruangan, anak-anak dari berbagai kelompok usia berbaur dalam satu kegiatan penutup bersama para pendamping. Menyertai guliran keakraban tersebut, kami berbincang saling bertukar pengalaman, dengan Kang Dodiet (Pak Kades) dan Mba Tika (Bu Kades). Nampaknya gayung pun tersambut, sehingga terbuka lebar harapan sekaligus langkah-langkah kongkrit berikutnya, bagi kami tim penyusun panduan juga Kang Dodiet dan istrinya yang punya mimpi sama mewujudkan PAUD berkualitas yang berkonteks lokal.
Kami menutup perjumpaan dengan sedikit bincang-simpulan dengan Kang Heri, bahwasanya dalam konteks masa kini memang yang dibutuhkan bukan sosok-sosok hebat nan ideal. Tetapi lebih pada saling-bantu, saling mengisi dan saling menggenapi kekurangan satu-sama lain. Agar kita semakin menyadari bahwa berjejaring antar individu dan komunitas bukan untuk saling-bersaing, tetapi berdialog dan bergandengan-tangan mengejar solusi paling cepat dan paling mudah. Dengan menuntaskan satu contoh solusi yang terintegrasi, akan membantu tersebarnya solusi di tempat lain. Semoga saja…
Bumi Sepanggang, 17 Oktober 2016
Catatan dari: Ahmad M Nisar Alfian Hasan (Tim Penyusun Kurikulum PAUD Berbasis Lokal Desa)
(Via WA Desa Mandiri Tanpa Korupsi
Atas Nama Redaksi Desa, Terimakasih Tulisannya
Peran komunitas kreatif dalam pembangunan dan pemberdayaan di Desa, terbukti mampu merubah kerja-kerja linier, struktural formalitas selama ini menjadi lebih kreatif dan mampu mendorong perkembangan peran kelembagaan di desa.
Membangun jejaring dan relasi kerja adalah wujud gotongroyong, untuk mempercepat persoalan kolektif yang sudah menjadi konsensus bersama pemerintah desa dan warganya.
Sukses desa wlaharwetan, desa inklusi bukan saja permasalan intoleransi, kepedulian thd anak, ibu, kaum difable, dll, tetapi membuka akses berbagai fihak untuk berkontribusi dalam kerja-kerja kolektif.
Berpolapikir maju untuk menyiapkan generasi yang lebih mapan cerdas
Cerita nya panjang mengalir. Khas kikis.id… hehe….
Ceritanya menarik. Tinggal masalah editing untuk yg baku atau tidak, dan penggunaan kata yg sesuai sesuai dengan EBI