Namanya Dewi Sri, pastilah ia perempuan, bukan? Konon, seperti juga namanya, ia adalah Dewi Kahyangan yang memberi kesuburan. Tetapi, karena nama itu hanya populer di kalangan komunitas petani desa. Dewi Sri lalu diasosiasikan sebagai atau menjadi simbol padi.

Para petani sawah sangat mengenalnya dengan akrab, bahkan banyak di antara mereka yang menganggapnya sebagai padi itu sendiri. Dewi Sri memang dipandang sebagai salah satu dewa yang mengisi biji padi hingga kemudian menjadi beras. Itulah sebabnya mengapa, seperti yang masih kita temukan di sejumlah kalangan petani di pedesaan Jawa, beras atau padi pantang disia-siakan. Karena itu berarti menyepelekan Dewi Sri. “Kuwalat”, kata orang Jawa menyumpah atau “ora ilok” kata wong banyumas sendiri.
Upacara untuk Dewi Sri (mapag Sri) pada saat panen di Karang Tengah, Tuntang, Semarang (sekitar 1910)

Upacara untuk Dewi Sri (mapag Sri) pada saat panen di Karang Tengah, Tuntang, Semarang (sekitar 1910)

Mapag Sri adalah salah satu adat/budaya masyarakat Indonesia khususnya Jawa dan Sunda yang dilaksanakan untuk menyambut datangnya panen raya sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa. Mapag Sri apabila ditilik dari bahasa Jawa halus mengandung arti menjemput padi. Dalam bahasa Jawa halus, mapag berarti menjemput, sedangkan sri dimaksudkan sebagai padi. Maksud dari menjemput padi adalah panen.

Mapag Sri dilaksanakan dengan maksud sebagai ungkapan rasa syukur para petani kepada Tuhan Yang Maha Esa karena panen yang diharapkan telah tiba dengan hasil yang memuaskan.

Mapag Sri dilaksanakan menjelang musim panen. Meskipun panen ini berlangsung setiap tahun, Mapag Sri tidak selalu dilaksanakan setiap tahunnya[butuh rujukan]. Ada beberapa faktor yang menyebabkan upacara ini tidak bisa selalu dilaksanakan seperti faktor keamanan, dan faktor buruknya hasil panen sehingga upacara ini tidak dapat dilaksanakan.

Sebelum melaksanakan upacara, kepala desa mengadakan musyawarah/rempugan dengan sesepuh desa atau pemuka masyarakat. Maksud rempugan tersebut untuk menentukan hari dan dana yang diperlukan untuk upacara. Usai musyawarah, para pamong desa melakukan pengecekan ke sawah-sawah. Bila benar padi telah menguning, segera mengadakan pungutan dana secara gotong-royong. Besarnya pungutan bergantung kemampuan masyarakat.

Kelau melihat dari urut-urutan upacara dalam lingkaran pertanian, upacara awal adalah upacara Sedekah Bumi, kemudian upacara Baritan, dan terakhir upacara Mapag Sri. Panitia untuk upacara Mapag Sri biasanya dibentuk pada saat pembubaran panitian upacara Baritan. Bisa juga panitian Upacara Baritan dikukuhkan kembali untuk menjadi panitian upacara Mapag Sri.

Sumber Dari:  Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Lihat pula: Panen Mapag Sri di Desa Wlahar Wetan | Blogger Banyumas

 

Acara Panen Padi Organik Desa Wlahar Wetan Banyumas Dengan Metode SRI

Acara Panen Padi Organik Desa Wlahar Wetan Banyumas Dengan Metode SRI

Di kalangan petani Jawa, pandangan mengenai Kisah Dewi Sri ini sangat beragam. Bagi para petani di Banyumas (Jawa Tengah). Misalnya, kehadiran Dewi Sri ke bumi berawal dari saat ketika Bathara Guru menurunkan benih kehidupan, wiji widayat kepada semua dewa. Karena ketidak-hadiran Ramadi itu, para dewa tidak mampu memikulnya. Wiji widayat melesat ke bumi bahkan sampai ke lapisan ke tujuh.

Benih kehidupan itu ternyata masuk ke dalam perut Nagaraja atau Hyang Anantaboga yang mulutnya sedang menganga. Melihat peristiwa itu, Bethara Guru terkejut dan kemudian memerintahkan untuk dimuntahkan. Dan ternyata, setelah dimuntahkan, yang keluar adalah dua bayi, laki-laki dan perempuan yang lalu diberi nama Sri dan Sadana. Setelah menginjak dewasa, baik Sri maupun Sadana tidak mau berpisah bahkan meminta untuk dijodohkan yang ternyata tidak setujui oleh para dewa. Hanya karena permintaannya itu. Sadana dikutuk mati yang kemudian, dari mayatnya, muncul berbagai binatang liar seperti monyet, babi hutan, gajah, dan binatang laut.

Sri sangat sedih atas peristiwa itu dan meminta agar dibuatkan gamelan Gedobrog untuk menghibur perih hatinya. Tetapi, ternyata ia pun terkena kutukan dan harus mati seperti Sadana. Bethara Narada mendapat tugas membawa mayat Sri ke bumi untuk diserahkan kepada seorang perempuan tani yang sedang bertapa untuk mendapat wiji widayat. Narada memberikan mayat Sri kepada perempuan itu dan berpesan agar dikuburkan secara baik-baik dan disiram terus selama tujuh hari. Setelah itu, dari kubur Sri tumbuh sejumlah tetumbuhan diantaranya tanaman padi.

Serat Manikmaya yang beredar di kalangan masyarakat Jawa Tengah dan Timur menceritakan, dalam beberapa bagian sama dengan di Madura. Bahwa Ken Tisnawati (Dewi Sri), putri Retna Dumilah, mati ketika dirayu oleh Bethara Guru yang amat mencintainya. Setelah di kubur, kemudian tumbuh beberapa tanaman yang sampai sekarang bermanfaat bagi penduduk bumi. Dari kepalanya tumbuh pohon kelapa dan padi, dari tubuhnya tumbuh pohon aren. Dari kedua tangannnya tumbuh pohon buah-buahan, dan dari kedua kakinya tumbuh ubi-ubian (ubi jalar dan talas).  

Dewi Sri – atau apapun sebutannya – dan padi memang lengket dan tak mungkin dipisah.

Babad Nitik atau Serat Tjabolek menceritakan bahwa Raja Mataram, Sultan Agung, menjelang akhir hidupnya pernah mengadakan upacara penanaman padi dari bibit yang ia datangkan dari negeri Campa. Dalam upacara itu, Sultan Agung didampingi oleh Ratu Laut Selatan untuk secara bersama menanam jenis padi Campa (di Jawa lebih dikenal pari cempo) tersebut dan menganjurkan agar rakyat Mataram menanam dan melestarikannya.

Hingga ada proyek intesifikasi pertanian Orde Baru, jenis padi itu di Jawa dianggap sebagai padi paling enak dan sangat banyak produksinya. Dalam serat itu pula disebutkan bahwa upacara penanaman padi tersebut dimaksudkan untuk memenuhi lumbung-lumbung padi seluruh Jawa lumbung padi Mataram. Seperti banyak disebut oleh sejarawan, menyebar hingga di Karawang, dekat Jakarta yang dimaksudkan sebagai logistik perang melawan kompeni Belanda di Batavia.

Sumber Dari: http://srinthil.org/374/perempuan-dalam-ritual-mengangan-dewi-sri-membayang-perempuan/

Lihat pula: Panen Mapag Sri di Desa Wlahar Wetan | Blogger Banyumas

Panen Padi Organik Benih Lokal Ramah Lingkungan Desa Wlahar wetan

Upacara Mapag Sri yang telah dilaksanakan kemarin awal bulan April 2017 di Desa Wlahar Wetan ini bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas datangnya masa panen. Sesuai dengan namanya, yaitu Mapag berarti menjemput dan Sri berasal dari Dewi Sri (Dewi Padi) yang artinya adalah hasil panen.

Upacara Mapag Sri dilakukan dengan rangkaian diskusi dalam suasana juguran santai oleh para petani, pemerhati dan pelaku inovasi bidang pertanian ramah lingkungan juga pergelaran kesenian tari dan alat musik tradisional sehari semalam serta bancakan atau tumpengan makan nasi hasil panen petani secara bersama yang dilaksanakan di gubug tani milik desa.

Acara Panen Mapag SRI 3 April 2017 Dibuka oleh Wakil Bupati Banyumas, dengan Pemanenan Padi Varietas Mentik Susu yang Tanam Oranik Dengan Metode SRI

Acara Panen Mapag SRI 3 April 2017 Dibuka oleh Wakil Bupati Banyumas, dengan Pemanenan Padi Varietas Mentik Susu yang Tanam Oranik Dengan Metode SRI

Tarian Upacara Mapag Sri - Melestarikan Kearifan Lokal

Tarian Upacara Mapag Sri – Melestarikan Kearifan Lokal

Patung Yang Terbuat Dari Batang Padi Menggambarkan Dewi Sri di Desa Wlahar Wetan

Patung Yang Terbuat Dari Batang Padi Menggambarkan Dewi Sri di Desa Wlahar Wetan

Juguran Petani dan Pemerhati Inovasi Pertanian Ramah Lingkungan di Acara Mapag Sri di Desa Wlahar Wetan

Juguran Petani dan Pemerhati Inovasi Pertanian Ramah Lingkungan di Acara Mapag Sri di Desa Wlahar Wetan

Eksplorasi Desa tentang Kekayaan Akulturasi Islam dalam Potensi Budaya Lokal

Tujuan utama inisiatif terselenggaranya rangkaian kegiatan Panen Mapag Sri ini adalah agar bisa mendapatkan pengkajian dan penguatan seni budaya yang ada di wilayah desa. Secara khusus pengkajian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan jenis seni tradisional yang masih ada dan bisa disajikan di desa.; 2) mendeskripsikan cara penyajian atau bentuk ajang seni kreatif tradisional yang bisa dilakukan oleh masyarakat sendiri maupun pelaku seni dari luar desa.; 3) mendeskripsikan upaya pelestarian seni tradisional yang berpeluang untuk dapat dikembangkan didalam desa.
Hasil pengamatan dan kajian evaluasi menunjukkan di Desa Wlahar Wetan masih berkembang banyak seni tradisi yang berupa seni tari, seni musik (karawitan), seni pewayangan, budaya dolanan anak, dan adat tradisi. Masing-masing memiliki jenis yang bervariatif. Seni tradisi di Desa Wlahar Wetan disajikan secara sederhana dan belum disentuh dengan estetika yang bagus. Seni yang ada masih bersifat turun temurun.
Penyajian seni dari desa didasarkan atas permintaan pengunjung, namun ada juga yang atas inisiatif pengelola group seni sendiri. Seni tradisonal di Desa Wlahar Wetan yang dimanfaatkan secara utama adalah sebagai pemikat bagi para pengunjungnya.
Selain itu seni tradisional dimanfaatkan sebagai ajang penyambutan, hiburan, pengenalan budaya, regenerasi pegiat seni, dan pemberdayaan masyarakat sekitar. Nilai yang mulai dikembangkan nantinya adalah nilai tradisi berjalan beriringan dengan wisata yang kini makin digemari oleh masyarakat sebagai konsumennya.

Pesona Cerita Dewi Sri Kaitannya Dengan Inovasi Bertani

Dewi Sri ternyata tidak hanya berkaitan dengan dari mana (bibit) padi berasal-mula, tetapi juga berpaut dengan kesuburan. Di samping simbol padi, Dewi Sri juga simbol kesuburan tanaman-tanaman yang hingga sekarang ini sangat dikenal oleh masyarakat pedesaan di Nusantara; kepala, pisang, buah-buahan, ubi-ubian, dan sebangsanya.

Mite Dewi Sri juga memperkenalkan berbagai hama pemangsa dan perusak tanaman seperti kera, tikus, walang, dan seterusnya. Mite itu juga meneguhkan kepercayaan petani bahwa untuk mencapai produksi tertentu dari seluruh olah pertanian haruslah selalu menghormatinya dengan berbagai cara dan sesaji, baik sebagai simbol padi maupun simbol kesuburan.

Kesuburan memang didambakan oleh penduduk bumi yang tidak hanya dikaitkan dengan jenis tanaman tertentu dan hama pemangsanya, tetapi juga menyangkut curah hujan. Dan dalam konteks yang terakhir itu, kesuburan tidak selalu berpaut dengan Dewi Sri, meski tetap disimbolisasi inovasi bertani.

Berbagai cerita menyatakan bahwa kekeringan yang berkepanjangan di suatu tempat tertentu membuat penderitaan bagi penduduknya sehingga terdorong untuk melakukan berbagai upaya mengatasinya. Nyanyian bersama untuk meminta hujan dari berbagai negeri, bangsa, dan etnis adalah juga mantra-mantra yang dipanjatkan ketika mereka dilanda kekeringan.

Misalnya, sebuah pujian berbahasa Arab di kalangan muslim santri: Rabbana anzil alaina ma’an midrara dan seterusnya. Pujian ini sering kita dengar dari berbagai masjid di pedesaan Jawa khususnya menjelang shalat berjamaah (magrib dan isya’), saat-saat mereka dilanda kemarau panjang. Selain, dalam tradisi muslim santri pula, biasa dilakukan shalat bersama di lapangan dengan bacaan dan doa khusus yang dikenal sebagai shalat istisqa’ (harfiah: minta disiram).

Di kalangan masyarakat negeri ini, terutama di Jawa, kita sangat mengenal sejumlah tari yang biasanya dikaitkan dengan kesuburan. Tari Tayub, Gandrung, dan Gambyong, selain sering dikategori sebagai tari pergaulan, selalu disebut-sebut sebagai tari kesuburan bumi. Ketiga tari itu, di banyak tempat di pedesaan Jawa, memang hampir selalu dipertunjukkan dalam setiap Bersih Desa, Sedekah Bumi, atau Petik Laut. Bahkan beberapa pengamat tari menyatakan bahwa tari-tari itu sendiri diciptakan sebagai simbol kesuburan.

Ternyata sangat tampak, dalam pandangan dan imajinasi masyarakat Indonesia, begitu tak berbedanya proses reproduksi padi dan manusia.

Bahkan di banyak tempat dipercaya jika bulir-bulir padi bisa menjadi kosong tak berisi akibat tidak dipenuhinya aturan-aturan yang dituntut oleh Dewi Sri, maka anak-anak yang baru lahir bisa terkena penyakit sarap atau sawan karena kelalaian yang sama.

Jika ketiadaan panen lantaran bulir-bulir padi tak berisi diatasi dengan upacara dan sesaji tertentu (Bersih Desa, misalnya), maka malapetaka berupa penyakit kolektif yang menimpa anak-anak manusia juga dihadapi dan diselesaikan dengan cara yang sama. Bukankah Bersih Desa juga dimaksudkan untuk tolak-balak dan pengusir pageblug, di samping untuk menyongsong tanam padi dan kesuburan.  

Padi, bagi masyarakat kita, ternyata bukan sembarang tanaman. Ia bukan hanya melebihi tanaman lain, tetapi mempunyai kesejajaran dengan manusia. Seperti halnya manusia, padi dipandang berasal dari alam dewata, langit, surga, atau Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, padi dan manusia mempunyai siklus hidup yang sama. Suatu kesamaan, kesejajaran, hubungan erat, dan relasi mistis yang justru mengantarkan masyarakat kita menyatu dan simboisis dengan alam.

Beras, bagi mereka, tidak hanya dilihat dari sudut ekonomi dan hanya untuk memenuhi kebutuhan kalori, vitamin, protein, dan sebagainya, melainkan merupakan buah perkawinan Ilahi, tanaman firdaus, dan memiliki tenaga misterius yang menguatkan lahir-batin. Sejumlah mite menyatakan bahwa beras adalah makanan Ilahi yang akan menimbulkan kekuatan, keberdayaan, dan mencegah kemalasan. Kulitnya tak akan lapuk, tak menjadi kotor, dan bulir-bulirnya melantunkan musik saat tertiup angin, tanpa harus tersentuh oleh manusia.

Kini rupanya Dewi Sri sedang murka. Banyak kekeringan, hama, dan juga kebanjiran terjadi di mana-mana. Akibatnya hasil padi dan pertanian lain gagal mencapai target. Jadilah penderitaan rakyat bertambah berat.

Dari dulu kita adalah negara agraris. Tetapi sayang, segala perhatian tentang pertanian masih minim. Untuk itu kita perlu sekali menghormati Dewi Sri. Misalnya dengan menyebarkan bibit yang bagus, pupuk yang berkualitas, dan juga sistem irigasi yang terkontrol dengan baik. Mungkin dengan begitu rakyat kita akan hidup makmur.