Laju pertumbuhan penduduk di desa tentu akan mengalami peningkatan sehingga perlu pemikiran lebih lanjut tentang ruang terbuka hijau di desa. Ruang publik di desa diperlukan sebagai fungsi komunitas, tempat interaksi sosial bagi masyarakat yang dapat mengurangi tingkat stress akibat beban kerja dan menjadi tempat rekreasi keluarga bagi masyarakat.
Artikel: Lis Budi Rahayu, 30 September 2015 – Kompasiana
Bagi Pemerintah Desa Wlahar Wetan, pemenuhan kebutuhan masyarakat terkait akses ruang publik, sekarang ini sudah berfungsi menjadi sangat vital, yang mungkin terkadang sering dilupakan oleh sebagian Pemerintah Desa lainnya.
Mari kami ajak sejenak untuk membayangkan, di desa kita pasti ketika sore menjelang, atau siang hari, banyak anak-anak kecil yang sangat asik bermain sepeda di pinggir jalan, padahal kita ketahui bahwa sekarang ini volume kendaraan di Indonesia sangatlah padat, setiap detik kendaraan roda dua atau roda empat hilir mudik ataupun lalu-lalang tanpa henti, dan terkadang banyak yang memacu kendaraannya melebihi batas minimum yang dianjurkan, sehingga terkadang anak-anak menjadi korban kecelakaan, jika kemudian serta-merta menyalahkan si anak menurut kami kurang adil.
Fenomena itu sangat terasa dan terbukti di wilayah kami sendiri, karena akses jalan utama desa kami semuanya bertemu dengan jalur jalan provinsi, yang juga merupakan lintas jalan kolektor penghubung antara ibukota Kabupaten Banyumas/Kota Purwokerto dengan jaringan jalan sekunder dalam wilayah Kabupaten Banyumas.
Mengingat saat ini akses ruang publik yang ada sudah mulai minim, karena di beberapa wilayah di Desa, lahan-lahan kosong atau yang sifatnya seperti lapang di desa pun, sudah mulai banyak yang habis karena pembangunan. Jika pun ada ruang publik saat ini, kebanyakan tidaklah gratis karena masyarakat desa harus masuk ke pusat-pusat perbelanjaan modern, yang tentunya tidak akan mampu terjangkau oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Peristiwa ini merupakan salah satu contoh, bagaimana sebuah wilayah desa nantinya bisa saja tidak lagi mampu mengupayakan ruang untuk kepentingan masyarakatnya. Akses ruang publik atau umum, seyogyanya dapat menyalurkan ekspresi dan berbagai kreatifitasnya, secara maksimal tanpa ada halangan, suatu apa-pun.
Ilustrasi diatas merupakan salah satu bentuk antisipasi kegagalan bagi kami selaku pemerintah desa sendiri, dan upaya tindakan serius kedepannya pihak Pemerintah Desa Wlahar Wetan bersama-sama pihak swasta dan juga masyarakat dalam melakukan pengelolaan lingkungan yang ada di wilayah desa kita ini.
Fenomena ini hampir bisa kita jumpai di berbagai daerah perkotaan yang ada di Indonesia. Dinamikanya sangatlah kompleks, hal tersebut tidak bisa dilepaskan dengan aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat, yang begitu padatnya, dengan berbagai rutinitas pekerjaaan selama 6 (enam) hari dalam (satu) 1 minggu.
Sehingga dengan adanya ruang publik, masyarakat menjadi sangat terwadahi dan merasa dipedulikan, karena mereka tidak harus jauh-jauh di luar kota, dengan pertimbangan biaya yang mahal, dan juga jarak temput yang jauh serta menyita waktu, dikarenakan mereka harus kembali bekerja di hitungan awal minggu kerja, yakni hari senin.
Dengan adanya ruang publik, di daerah perkotaan, mereka dapat melakukan berbagai kegiatan yang disukai, selain itu ruang publik juga dapat dijadikan wahana untuk saling berkomunikasi antar warga di daerah perkotaan, yang terkadang di identikan dengan masyarakat yang individualis, sehingga ada kemungkinan mereka bisa menjalin persahabatan antar warga yang ada di wilayah tersebut.
Kebutuhan akan ruang publik di wilayah perkotaan sebenarnya, sudah banyak terpenuhi, mengingat keberadaan kota biasanya memiliki berbagai kebijakan dan regulasi terkait penataan wilayah, selain itu banyak pemerhati dan pengamat sosial yang peduli atau konsen terhadap pengembangan lingkungan khsusnya terkait ruang publik (Public Sphere).
Bahkan sebenarnya kebutuhan ruang publik bukan merupakan kebutuhan pokok atau primer, seperti: sandang, pangan dan papan. Hal tersebut bisa kita lihat dari berbagai ruang publik yang ada di kota-kota besar, bagaimana masyarakat benar-benar mendapatkan prioritas yang maksimal, agar wahana untuk menyalurkan ekspresi dan juga emosi dapat terwujud.
Belajar dari pengalaman yang ada, terkait penyelenggaraan dan pemanfaatan ruang publik yang dianggap berhasil oleh sebagian orang dan dianggap gagal oleh sebagian yang lain karena tidak bersifat partisipatif, maka ada satu pekerjaan rumah yang mungkin sangat tidak adil kalau kami abaikan, yaitu menggagas ruang publik yang ada di desa.
Setelah kami mengupas tentang keberadaan ruang publik yang ada di wilayah perkotaan, tentu timbulah sebuah pertanyaan apakah di desa juga memerlukan keberadaan ruang publik, atau bahkan ada yang berpendapat bahwa desa tidak butuh hal tersebut dengan alasan, bahwa masyarakat desa lebih bahagia daripada masyarakat kota, menurut kami hal tersebut sangatlah tidak bijak, karena secara manusiawi pasti memiliki rasa bosan, jenuh dan juga perlu meluapkan ekspresi dalam satu kesempatan, mungkin juga perlu menyendiri untuk mencari inspirasi atau intropeksi terhadap kehiduapannya.
Oleh karena itu kami berasumsi jika desa juga perlu keberadaan sebuah ruang publik. Mengapa demikian, karena masyarakat desa juga memerlukan hiburan, dan komunitas masyarakat di pedesaan biasanya menghabiskan waktu liburan di ruang terbuka, misalnya masyarakat desa yang berada di wilayah pegunungan, mereka akan lebih tertarik untuk mengunjungi pantai laut ataupun daerah perkotaan yang selama ini jarang mereka jumpai di wilayah tersebut, dan juga sebaliknya.
Kebutuhan akan ruang publik bagi masyarakat desa sebenarnya telah terpenuhi dan terlembaga, karena secara solidaritas masyarakat desa, memiliki beberapa wadah dalam berbagai bentuk dan model, sebagai sebuah sistem sosial yang terbentuk atas dasar kekeluargaan dan gotong-royong, namun keberadaannya terkadang kurang dimaksimalkan, karena pola pikir masyarakat desa saat ini juga mulai banyak berubah, karena tergerus oleh perkembangan zaman. Jika di kategorisasikan ada beberapa ruang publik yang potensial untuk dikembangkan, dan dimanfaatkan secara berkesinambungan sebagai bentuk pelembagaan dari berbagai praktik sistem sosial yang sudah ada, diantaranya: 1). Model ruang publik untuk pemenuhan fungsi aktualisasi kebudayaan. 2). Model ruang publik untuk pemenuhan kebutuhan organisasi. 3). Model ruang publik sebagai sarana pemenuhan kebutuhan keolahragaan. 4). Model pemenuhan ruang publik sebagai wahana spiritualitas, dan lain-lain. Model-model tersebut memang terbentuk sebagai sebuah upaya komunitas masyarakat dalam memabangun solidaritas dan juga aktualisasi diri.
Konsep ruang publik di desa sebenarnya telah hadir dahulu, sebelum terbentuknya masyarakat modern, hal ini menandakan bahwa, potensi pengembangan dan pemanfaatannya, akan lebih baik dan maksimal dilakukan oleh masyarakat desa sendiri, karena secara kultur masyarakat desa, lebih toleran dengan solidaritas atau kesetiakawanan yang tinggi dibandingkan masyarakat perkotaan yang cenderung lebih individualistis. Hal ini tentunya menjadi nilai lebih bagi masyarakat desa untuk mengembangkan potensi tersebut.
Bagaimana, perlukan ruang publik di Desa kita? kita berharap dan tentunya warga masyarakat desa sebagai pemanfaat yang akan mengevaluasinya, salam.
Daftar Pustaka
Wibowo, Sunaryo Hadi (ed). 2005. Republik Tanpa Ruang Publik. Yogyakarta: Ire Press.
Hilman, Yusuf Adam. 2017. Analisis terhadap Pemanfaatan Ruang Publik Pedesaan di wilayah Kabupaten Ponorogo, Ponorogo: journals.usm.ac.id.