Perjalanan panjang zakat sebagai salah satu instrumen redistribusi dalam Islam terbukti telah berkontribusi mengurangi kemiskinan. Seiring perkembangan perspektif atas konsepsi kemiskinan, amil zakat perlu berbenah menyempurnakan peran strategisnya.
Perspektif atas kemiskinan, menentukan pola pendistribusian dan pendayagunaan zakat, serta optimal tidaknya zakat sebagai instrumen redistribusi. Ada tiga level perspektif kemiskinan. Pertama, pandangan sempit, kemiskinan merupakan kondisi kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kedua, pandangan luas, kemiskinan sebagai kondisi kekurangan pendapatan dan hal-hal yang bersifat sosial (pendidikan, kesehatan, dan sebagainya). Ketiga, pan angan terluas, kemiskinan perlu pendekatan kapabilitas (capability approach), karena orang miskin menyandang kekurang ampuan untuk menjadi (being) dan melakukan (doing) pada hal-hal multidimensi, lebih dari sekadar soal kurangnya pendapatan.
Pengelolaan zakat pada umumnya, belum mengacu pada perspektif terluas tentang kemiskinan, Pendekatan kapabilitas belum banyak dimainkan dalam praktik pendayagunaan zakat. Mungkin sebagian pihak sudah melakukan unsur penguatan kapasitas, tapi itu sebatas mengatasi problem kebutuhan dasar, belum mendorong kemandirian masyarakat (community selfhelp).
Pendekatan kapabilitas bisa iimplementasikan sebagai community development. Ada tiga model pengimple mentasiannya. Pertama, development for community, pemberdayaan menempatkan masyarakat sebagai objek pembangunan karena berbagai inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan pembangunan dilaksanakan oleh aktor dari luar. Apa yang disemangati sebagai pengang gulangan kemiskinan, masih berfokus pada upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat, belum pada mencari jalan keluar untuk meringankan beban kemiskinan melalui usaha peningkatan kapasitas secara bertahap. Model ini memerlukan pendidikan untuk mengembangkan kesadaran kritis.
Kedua, development with community, ditandai dengan kuatnya pola kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat. Keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama dan sumber daya yang dipakai berasal dari kedua belah pihak. Ini model yang makin baik dibanding sebelumnya, yang memberi ruang partisipasi masyarakat.
Ketiga, development of community. Ini dipandang model terbaik, di mana proses pemberdayaan sejak inisiatif, perencanaan, hingga pelaksanaannya dilaksanakan sendiri oleh masyarakat. Masyarakat menjadi pemilik program. Peran aktor dari luar lebih sebagai sistem pendukung bagi proses pemberdayaan. Inilah seni dan kunci sukses membangun komunitas,.
Untuk dapat menyusun, melaksanakan, maupun memonitor dan mengevaluasi program pemberdayaan masyarakat, amil zakat mesti memahami betul subtansi kemiskinan, apa kebutuhan pemberdayaan dan strategi apa yang paling tepat. Amil dengan kapasitas seperti ini, telah menggeser mindset-nya dari doer menuju mobilizer. Amil dalam perannya sebagai da’i, menebar dakwah transformasi melalui program pemberdayaan masyarakat, proses dimana masyarakat terutama mereka yang miskin sumberdaya dan kelompok yang terabaikan lainnya terbangun kapasitasnya dalam meningkatkan kesejahteraan secara mandiri.
Saat ini peran amil zakat, tak lagi mencukupi bila sekadar melakukan pendistribusian zakat secara hit and run. Dalam strategi pendistribusian dan pendayagunaan zakat, amil dituntut berkemampuan dalam penyusunan kerangka manajemen program secara logic dan sistematik, yang diawali dengan analisis masalah dan kebutuhan komunitas secara partisipatif sampai monitoring dan evaluasi program dengan ketercapaian indikator keberhasilan pada termin waktu program yang ditetapkan.
Pendekatan kapabilitas dalam pengurangan kemiskinan merupakan perjuangan membenahi strategi pengelolaan zakat. Masyarakat berkapabilitas sejatinya menjadi jalan memunculkan at-takaaful alijtimaa’i (saling menanggung antar elemen sosial), yang antara lain meliputi at-takaaful i’tishaadi, bertanggungjawab dalam kegiatan ekonomi bersama, dan at-takaaful ma’asyi, bertanggungjawab secara bersama-sama dalam me nanggulangi kehidupan penyandang berbagai kesulitan hidup, seperti fakir-miskin, orang-orang sakit, jompo, para pengungsi, dan sebagainya.
Islam menghendaki tataran masyarakat yang berciri dasar ta’awun (tolong-menolong), takaful (saling menanggung), dan tadhomun (memiliki solidaritas). ”Seorang Mukmin terhadap Mukmin yang lain adalah bagaikan sebuah bangunan yang saling menguatkan antara sebagiannya dengan yang lain.” Inilah masyarakat pembangun peradaban. sarat nilai dan moral, maju, serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Sukses membangun komunitas, jalan sukses membangun kesejahteraan daerah dan akhirnya kesejahteraan nasional. Program Zakat Community Development (ZCD), sebuah keniscayaan yang vektornya berada di arena kerja aktor perzakatan daerah. Pada implementasinya, ZCD menerapkan enam prinsip dasar: partisipasi, nilai-nilai Islam, berpusat pada komunitas, kemanfaatan, kesinambungan dan sinergi. Tak berlebihan jika BAZNAS menjadikan ZCD sebagai program unggulannya.
Oleh: Nana Mintarti
Anggota BAZNAS
Sumber: http://pusat.baznas.go.id/posko-aceh/zakat-community-development/